Selasa, 06 September 2011

Upacara Ua Pua

Upacara U’a Pua dilaksanakan bersamaan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang juga dirangkai dengan penampilan atraksi Seni Budaya masyarakat Suku Mbojo (Bima) yang berlangsung selama 7 hari.
Prosesi U’a Pua diawali dengan Pawai dari Istana Bima yang diikuti oleh semua Laskar Kesultanan, Keluarga Istana, Group Kesenian Tradisional Bima dengan dua Penari Lenggo yang dilengkapi dengan Kelompok Penunggang Kuda (Jara Sara’u).

Upacara Ua Pua. Foto: wisatamelayu.com
Selama proses pawai berlangsung Group Kesenian terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan Genda Lenggo. Ketika memasuki Istana, Penunggang Kuda menari dengan suka ria (Jara Sara’u), Sere, Soka dan lain-lain sampai Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan yang diiringi dengan Penari Lenggo. Pada sa’at itu diserahkan ”Sere Pua” dan Al-Qur’an kepada Sultan.

Sambori Bima

Desa Sambori adalah sebuah desa yang berada di atas dataran tinggi pegunungan Lambitu dan termasuk wilayah Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima, Desa Sambori hanyalah sebuah Desa yang sangat kecil dengan kehidupan yang masih tergolong Tradisional. Masyarakat Sambori rata-rata bekerja sebagai Petani dengan penduduk 800 jiwa ± dan di kepalai oleh seorang Kepala Desa, mereka bercocok tanam sejak zaman nenek  moyang mereka berada. Jarak Desa Sambori dari Bima hanya  400 KM, tetapi sekarang kendaraan tidak lagi susah untuk ke Sambori karena pemerintah setempat sudah membuat jalan yang baru dan di Aspal.

kebiasaan masyarakat Sambori yaitu makan daun sirih karena suhu dan udara di Desa sambori sangat dingin sehingga untuk menghilangkan kedinginan mereka makan daun sirih yang di campur dengan beberapa ramuan sehingga badab mereka jadi hangat. Ada satu keunikan darai masyarakat Desa Sambori yaitu mereka masih mempergunakan bahasa yang lain dari bahasa Bima dan sekitarnya, banyak orang mempunyai anggapan dan persepsi masing-asing bahwa bahasa Sambori dalah bahasa asli Suku Bima atau bahasa nenek moyang, yang hingga sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat Desa Sambori.
Kehidupan masyarakat Desa Sambori sangat sederhana, iu tampak dari bentuk dan perabotan yang ada
dirumah mereka, Masyarakat Desa Sambori bisa dibilang masih tergolong terbelakang mengenai Tekhnologi maupun perkakas untuk keseharian mereka yang berkembang disaat ini, hingga mereka banyak yang masih menggunakan peralatan dan perkakas yang masih Tradisional, Panci untuk masak mereka masih menggunakan panci yang terbuat dari tanah liat, dan yang lebih menarik lagi di Sambori bila hujan turun mereka tidak menggunakan payung pada umumnya, akan tetapi mereka menggunakan sebuah kulit pohon atau daun Pandan maupun Rotan yang di buat untuk menjadi payung, masyarakat setempat menyebutnya “WAKU” dan orang Bima mengenalnya dengan nama “LUPE”.
Masyarakat Desa Sambori Banyak yang memeluk Agama Islam, karena ada sebuah cerita sejarah lama yang diyakini oleh Masyarakat Sambori yaitu sejak berdirinya Kerajaan Bima, Islam pertama kali masuk di Kerajaan Bima melalui dataran tinggi yaitu di Sambori oleh seorang Ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”, karena Beliau tiba di Sambori saat Subuh, kemudian Syekh Subuh menyiarkan ajaran Islam di Sambori, makam Syekh Subuh berada di atas Puncak Gunung Sambori, atau di sebut kuburan keramat.
http://sman1kobi.sch.id/

SMANSA KOTA BIMA


aktivitas para alumni smansa kota bima saat masih bersekolah di smansa kota bima...

Gunung Tambora (Doro Tambora)

Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m[2] yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut.
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index.[3] Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan danau Taupo pada tahun 181.[4] Letusan gunung ini terdengar hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.[4] Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi.[5] Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.[4]
Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun 1815 di kedalaman 3 meter pada endapan piroklastik.[6] Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama ketika terjadi letusan di tahun 1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai Pompeii dari timur.

Suku Bima

Suku Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima dan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Suku ini menggunakan Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Menurut sejarahnya-lebih tepatnya dongeng-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi ke Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuna kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.